Senin, 14 Januari 2008

Zein dan Abiel

Ahhh, pagi yang kelam, sama seperti kemarin. Langit masih saja berwarna kelabu. Seharusnya mereka sudah mengganti warna langit ini, aku sudah bosan. Tapi tadi malam Marilyn Monroe sungguh menakjubkan. Ternyata program klasik lebih baik daripada yang terbaru. Pagi ini aku harus mempersiapkan diri untuk bertemu teman. Seorang teman lama, mungkin terlalu lama kami tidak bertemu. Sudah berkali-kali aku mencari keberadaannya, tapi tidak pernah berhasil.

Aku pun sudah siap berangkat. Tapi sebelum itu, kumasukkan dulu sebutir rokok ke dalam mulutku. Ah, nikmat sekali, asap keluar dari mulutku. Teringat kembali aku saat pertamakali menghisap rokok, kira-kira seratus tahun yang lalu. Rasa rokok waktu itu lebih enak dari pada yang aku hirup sekarang ini. Waktu itu aku dan Abiel, temanku yang sekarang hendak kutemui, sedang berada di bangku sekolah menengah pertama di daerah pinggiran Jakarta. Aku terpengaruh teman-temanku yang lain untuk merokok. Waktu itu Abiel, yang kukenal sejak di sekolah dasar, pernah juga kutawari sebatang rokok. Ia pun mau mencoba, tapi tidak pernah tahan dengan asapnya walaupun sudah beberapa kali mencoba.

Aku pun berjalan keluar rumah. Anak tetangga sedang memainkan game dengan kacamata virtual-nya. Demi langit yang makin menghitam, anak ini memang menyebalkan, bermain permainan kuno di tengah jalan. Aku pukul saja kepala anak ini. Ia pun membuka kacamata tersebut dan kabel kecil yang tertempel pada lehernya.

“Wah, biasa dong!”

“Minggir!!! Kalau tidak ingat siapa bapakmu, sudah kuhancurkan batok kepalamu,” kataku.

Dasar anak-anak, aku pun dulu seperti itu, gila game. Malah sempat ketika Kerusuhan 1998, setahun setelah masuk sekolah menengah pertama, aku pun ikut menjarah ke dalam mall yang hampir terbakar. Dan yang kuambil adalah sebuah Playstation. Abiel pun waktu itu ikut menjarah. Akan tetapi ia lebih memilih menjarah toko perhiasan. Pada waktu itu keadaan makin sulit, tapi itu hanyalah salah satu catatan kelam dari masa lalu, hanya salah satu.

Aku pun kembali berjalan melewati lingkungan rumahku yang dikenal sebagai Bimandwell Area. Tempat ini merupakan dareah perbatasan antara kota Jakarta Lama dengan Ibukota. Dulu daerah ini merupakan tempat yang cukup elit. Tapi sekarang menjadi tempat penyanggah dan pertahanan ibukota terutama dari ancaman konflik yang datang dari Jakarta Lama. Ingin aku dapat tempat tinggal di Bumiutama, ibukota negara ini, langit di sana berwarna jingga berkilau.

Kota Bumiutama lebih jauh terawat dibandingkan Jakarta Lama yang sudah rusak permanen. Maklumlah ibukota negara terpaksa dipindahkan ke daerah yang lebih ke selatan karena Jakarta banyak terkena musibah. Wabah penyakit menyebar di mana-mana. Militer yang berkuasa pada waktu itu memutuskan memindahkan ibukota ke Bumiutama, sebuah daerah di sebelah selatan Jakarta yang merupakan gabungan wilayah yang dulu dikenal sebagai Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Selain itu revolusi dan perebutan kekuasaan yang terjadi berkali-kali membuat kota Jakarta Lama menjadi ajang peperangan yang sangat tidak aman sebagai sebuah ibukota.

Kami, aku dan Abiel, pun aktif terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Pada awal mulanya kami masuk dalam satu universitas yang sama. Pada tingkat kedua kami pun bersama-sama memasuki organisasi mahasiswa yang cukup radikal. Belum sempat lulus kuliah aku dan Abiel bergabung dengan organisasi radikal tingkat nasional. Beberapa tahun setelah itu terjadi gejolak di pemerintahan. Organisasi kami pun sudah semakin kuat.

Aku dan Abiel merupakan salah satu orang yang terlibat dalam menggerakkan massa untuk mengadakan revolusi. Tapi hal tersebut gagal, militer kembali turun dengan kekuatan penuh untuk memberantas kami. Organisasi kami pun hancur. Militer menangkap teman-teman kami dan mereka dieksekusi mati. Aku dan Abiel melarikan diri dari satu daerah ke daerah lain. Pada 2017 kami berdua sepakat untuk mengoperasi plastik wajah kami. Kami bisa kembali ke masyarakat dengan identitas yang berbeda.

Meskipun begitu jiwa pemberontak masih melekat dalam diri kami. Beberapa teman yang mengalami nasib serupa pun kembali mengorganisasikan diri. Tapi kami kembali mengurungkan niat karena terjadi serangan terhadap ibukota pada 2020. Serangan tersebut berasal dari beberapa daerah yang berupaya melepaskan diri. Jakarta porak-poranda. Aku dan Abiel sempat berpisah, ia memilih berjuang bersama kelompok seperatis di luar Jawa. Pemerintahan secara total diambilalih oleh militer. Pemerintahan militer hanya bertahan selama sepuluh tahun setelah bersusah payah mempertahankan diri dari pemberontak seperatis, aku tergabung dalam salah satunya.

Akhirnya kelompok seperatis di seluruh Indonesia bersatu dan melakukan serangan besar-besaran kembali ke Jakarta. Aku bertemu dengan Abiel saat itu. Kami kembali berjuang bersama-sama walaupun pengabdian kami diberikan pada tempat yang berbeda. Kota Jakarta benar-benar rusak secara total. Revolusi benar-benar terjadi, negara Indonesia bubar.

Itu terjadi pada 2030, negara terpisah-pisah seperti Uni Soviet pada awal 1990-an. Aku bergabung dengan kekuatan sipil yang ada di daerah sebagian besar Jawa bagian barat. Sedangkan Abiel, aku tidak tahu pasti. Terakhir pada 2037, ia berada di salah satu negara di Borneo, setelah itu tidak terdengar kabarnya lagi. Aku dan kelompokku berhasil merebut kekuasaan dari militer dan kelompok sipil lainnya. Tapi sayang sekali, aku hanyalah prajurit yang tidak dianggap, tidak satu pun jabatan tinggi yang kudapatkan. Hidupku tidak karuan di zaman yang baru.

Kembali berjalan di wilayah perumahan di Bimandwell Area, sebelum pergi ke Pusat Transporter, aku harus ke toko makanan untuk membeli pil sarapan dan makan siang. Aku mengambil beberapa pil makanan, rupanya masih ada rasa ayam bakar dan soto ayam, rasa khas tradisional kesukaanku. Setelah itu robot kasir langsung memindai tanganku yang terdapat kode penduduk.

Semua orang di negara ini memiliki tanda kode di tangan kiri mereka, kecuali para pemberontak. Berfungsi sebagai tanda pengenal, alat pembayaran, tiket masuk, ataupun pelacak. Tanda kode ini langsung terhubung pada satelit, jadi di mana pun kami berada akan selalui diketahui. Tanpa kode tersebut, orang tidak akan bisa hidup dalam komunitas formal di negara ini.

Setelah itu aku langsung menuju Pusat Transporter yang berada di sebelah toko pil makanan. Di sana ternyata sudah cukup ramai. Ada orang-orang bergerombol, dan satu orang gila berteriak-teriak tentang agama. Ia terus mengoceh tentang kedatangan imam mahdi, entah apa maksudnya. Heran aku zaman sekarang ini masih ada saja orang yang percaya pada hal-hal seperti itu. Agama, supranatural, kedatangan pemimpin besar, semuanya tidak masuk akal.

Bagiku sekarang hidup adalah milik kita sendiri, dan juga milik negaraku. Sejak Perang Besar pada 2045, yang terjadi selama sepuluh tahun, aku sudah menyerahkan tubuh pikiranku pada kemajuan teknologi. Pada tahun itu terjadi kembali perebutan wilayah kekuasaan. Penguasa dari daerah Jawa bagian timur berupaya menguasai kembali wilayah yang pernah dinamakan Indonesia dan membentuk sistem kesatuan baru, omong kosong.

Mereka pun kalah dan aku bagian dari individu yang membantu mengalahkan mereka. Negara kami akhirnya bisa menguasai seluruh wilayah Jawa. Kami pun menjadi cukup dihomati oleh eks-Indonesia lainnya. Kemenangan bisa kami dapatkan oleh karena kami menggunakan teknologi baru yang meningkatkan kemampuan perang dan mengubah konsep tentang manusia.

Lima tahun setelah dimulainya perang besar tersebut, ditemukan teknologi baru yang menyatukan manusia dengan struktur elektronik. Mimpi-mimpi manusia pada tahun 1900-an akan manusia robot atau cyborg dapat diwujudkan pada saat perang besar tersebut. Aku adalah bagian dari generasi pertama yang ‘dialihfungsikan.’ Sebagian dari kami yang ‘dialihfungsikan’ sudah merasa muak dengan kehidupan dan dunia yang semakin rusak. Sulit sekali mencari kebahagiaan dalam kehidupan pada waktu itu. Selain sebagai senjata perang, dengan ‘dialihfungsikan’ tubuh kami ditanam berbagai software yang dapat menunjang pengaplikasian program perasaan, dari bahagia, semangat, sampai aktivitas seksual.

Kebahagiaan dapat diciptakan melalui teknologi. Tinggal masukan kabel superkomputer pada lubang di belakang leher kami, maka apa pun yang ingin kami rasakan, bisa kami dapatkan. Tidak seperti manusia-manusia kuno yang mengandalkan obat-obatan yang merusak tubuh mereka sendiri untuk hanya sekedar merasakan bahagia.

Di Pusat Transporter, orang gila yang berteriak-teriak tentang agama itu pun diringkus oleh Garda Penjaga. Mereka adalah generasi keempat dari manusia yang ‘dialihfungsikan.’ Kemampuan tempur mereka sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan generasiku. Hanya saja untuk polisi, kemampuan tersebut agak lebih ditekan. Kemampuan yang dimaksimalkan adalah generasi kelima untuk satuan tempur. Hampir seluruh manusia yang ‘dialihfungsikan’ memiliki izin membunuh. Kecuali orang-orang sipil yang ‘dialihfungsikan’ tanpa diberi kemampuan tempur. Mereka hanya ingin mendapatkan kebahagian, umur panjang, dan berbagai kemudahan lain yang tidak dimiliki oleh manusia murni.

Semua manusia yang ‘alihfungsi’ diawasi oleh sebuah komisi di bawah Unikomisi, sebuah lembaga legislatif negara kami. Komisi tersebut dinamakan Komisi Pengawas Alihfungsi yang terdiri dari orang-orang sipil dan beberapa orang militer. Jika ada pembangkangan yang dilakukan oleh manusia alihfungsi, maka satelit bisa menembakkan langsung sinar laser setelah berhasil mendeteksi keberadannya melalui tanda kode yang ada di tangan kiri. Tapi itu hanya untuk orang-orang tertentu saja yang benar-benar berbahaya, karena biaya tembakan satelit sangatlah mahal.

Sudahlah, hidup memang dari dulu seperti ini, selalu dikekang, dan diatur dalam sistem, hanya bentuknya saja yang berbeda di setiap zaman. Sekarang aku hanya ingin bertemu teman lamaku. Informasi yang kudengar terakhir ia berada di bagian barat Jakarta Lama. Dari informasi yang kuperoleh ia hampir gila karena bermimpi tentang ‘penyatuan kembali’ negara besar Nusantara. Informasi yang kudapatkan dari salah satu negara di Borneo tersebut juga mengatakan bawa ia sudah ‘dialihfungsikan.’ Pantas saja ia masih hidup sampai sekarang.

Selagi menunggu transpoter-ku datang, kutelan pil sarapanku. Tiga menit aku merasakan rasa soto ayam dan kemudian energiku terasa cukup penuh. Waktu menunggu tidak terlalu lama, lima menit kemudian aku sudah dapat transporter. Lalu aku masuk ke dalam kapsul kecil tersebut dan memasukan data tujuan dan waktu kunjungan, Jakarta Lama bagian barat, sektor 23451, lalu 15 detik kemudian aku sudah sampai di sana.

Sial, bau daerah ini sangat menyengat, jauh lebih bau dari 90 tahun yang lalu. Tempat ini adalah tempat tinggalku dulu bersama Abiel ketika kami kuliah. Air sungai yang dulu hitam kini justru berwarna putih pekat, sedikit kental dan mengkilap, dengan bau bahan kimia yang sangat tajam. Dulu aku pernah tercebur ke dalam sungai ini dan gatal-gatal selama tiga hari. Abiel yang membantuku membelikan obat gatal.

Di tengah langit kelabu, asap pekat berwarna biru menyembul keluar dari gedung-gedung tua yang sudah setengah hancur. Wilayah ini memang sudah seharusnya dihancurkan, sudah tidak layak lagi dipertahankan seperti ini. Aku sama sekali tidak bisa mengerti bagaimana mereka bisa bertahan dalam kondisi seperti ini.

Sudahlah aku tidak mau memikirkan tentang hal itu, tidak ada gunanya. Sulit sekali bernostalgia di tempat yang sudah sama sekali berubah ini. Sekarang tujuanku ke sini hanya untuk bertemu teman lama. Alat penghubung satelitku bisa menunjukan di mana tepatnya ia berada. Agak sulit aku menemukannya karena ia ‘dialihfungsikan’ dan ‘dikodekan’ bukan di negara ini.

Setelah dapat informasi dari satelit, aku pun segera menuju lokasi tersebut melewati sebuah gedung yang seingatku adalah bekas salah satu mall termewah di Jakarta. Sekarang gedung itu begitu hitam dan di beberapa lantai menyembul api. Ada orang yang jatuh dan tubuhnya tengah terbakar. Di Jakarta Lama sudah tidak ada tempat lagi untuk kuburan, lagi pula mengubur tidak akan menghilangkan kuman yang menyembul dari mayat yang telah membusuk.

Indikator di alat penghubung satelitku menunjukan Abiel dalam posisi yang tidak jauh. Ia berada di bekas gedung perkantoran yang dijadikan perumahan. Lantai dua kamar tempat ia berada, kutemukan kamarnya, pintunya sama sekali tidak memiliki bel, terpaksa kuketuk pintunya.

“Masuk, siapa pun itu,” suara di dalam membalas ketukanku.

Langsung saja aku masuk. Dan ia Abiel, teman lamaku, teman seperjuanganku, tengah duduk dengan tangan di atas catatan elektronik, sedangkan tangan kirinya terpisah dari tubuhnya dan ditaruh di atas tempat tidur. Mungkin telah rusak.

“Hallo, masih ingat aku, Zein, teman seperjuanganmu.”

“Zein, datang juga kau kemari. Lama sekali kita tidak bertemu… ma, ma, mau apa kau?” katanya dengan mata yang terbelalak.

Wajar saja karena aku sudah mengeluarkan senjata liquidiser dari dalam kantongku dan kuarahkan kepadanya. “Kau terlalu banyak mengoceh tentang ‘penyatuan kembali’ Nusantara, sebuah omong kosong paling besar yang kudengar saat ini. Terima kasih atas waktu yang pernah kita habiskan bersama dengan penuh semangat. Tapi maaf teman, nostalgia kita sampai di sini.”

Zeppp, sinar dari senjataku mengenai tubuhnya dan ia pun perlahan meleleh di depan mataku. Saat nostalgia yang begitu indah, waktu lebih dari tiga puluh tahun bersamanya seperti terulang kembali dalam tiga puluh detik selagi ia meleleh. Dalam dua puluh detik matanya terus saja memandangiku. Kutinggalkan kamar itu setelah ia menjadi kubangan kental di atas lantai.

Sudah cukup. Aku sudah mulai merasakan suatu sensasi yang dinamakan kesedihan. Aku harus kembali ke rumah, misi telah selesai. Manusia ‘alihfungsi’ yang berupaya menyebarkan ide ‘penyatuan kembali’ sudah dimusnahkan, dengan mudah, seperti sampah. Benci aku akan tugas ini. Aku lebih suka bertempur melawan pasukan pemberontak yang ada di bagian selatan ibukota. Tapi sayang aku adalah generasi pertama yang telah usang. Jika menolak melakukan tugas tetek bengek seperti ini, aku bisa saja dimusnahkan.

Sudah, aku tidak mau lama-lama berada di kota ini. Aku lalu masuk ke dalam transpoter-ku. Sebelum pergi, aku melihat ke arah ibukota yang dikelilingi kubah berwarna keemasan. Sebuah lapisan melindungi kota dari serangan. Itu yang membuat langit ibukota menjadi berwarna jingga berkilau jika dilihat dari dalam. Aku benar-benar harus ke rumah, sensasi kesedihan sudah mulai terasa kuat, aku butuh Program Bahagia.

Sampai di rumah aku langsung menancapkan kabel superkomputer ke lubang di dadaku. Download Program Bahagia. Ahhh, Indah sekali hidup ini, hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku. setelah itu aku mulai mencari prorgam aktivitas seksual. Kemarin sudah dengan Marilyn Monroe, malam ini aku masih mau yang klasik. Hmm, Jessica Alba, bintang film awal milenium ini, mungkin juga bagus. Aku pesan dia saja di sistem Universe-net. Program ini baru bisa bekerja nanti malam. Tapi saat ini aku hanya ingin tidur saja. Besok aku harus bernostalgia dengan temanku lagi, Affandi, manusia sipil ‘alihfungsi’ yang sudah tidak produktif. Sampah lagi.

somewhere, 2005

blom tau mau tulis apaan

  • yah formalitas aja